Jumat, 19 April 2024, 11:54
Home / JAKARTA / TAK AKAN ADA KEKUATAN YANG MAMPU MENCEGAH TAKDIR KERUNTUHAN SISTEM NEGARA ERA REFORMASI

TAK AKAN ADA KEKUATAN YANG MAMPU MENCEGAH TAKDIR KERUNTUHAN SISTEM NEGARA ERA REFORMASI

WAGATABERITA.COM – JAKARTA. Selain Tuhan Yang Maha Kuasa, tampaknya tak akan ada kekuatan yang mampu mencegah takdir keruntuhan sistem negara era reformasi. Perang saudara atau baratayudha, dalam bentuk yang baru, antara sesamana anak bangsa sepertinya tak mungkin terhindarkan.

Perang saudara, krisis kebangsaan dan proses kehancuran negara yang kita hadapi saat ini makin diperparah lagi oleh ketidakmampuan Presiden hasil Pilpres 2014 dalam memimpin negara, ketidakmampuannya dalam memahami permasalahan secara tepat, serta tepat dalam mengatasinya, baik tepat cara, tepat waktu maupun tepat takarannya.

Pilpres langsung yang membutuhkan biaya sangat besar mengakibatkan Presiden hasil Pilpres disandera oleh para cukong yang membiayainya. Kata bijak dari barat “tak ada makan siang yang gratis.”

Akibatnya, orientasi kebijakan Presiden selalu mengutamakan kepentingan para cukong yang telah mengeluarkan uang sangat banyak untuk membiayai pemenangan Pilpres.

Selain cukung yang mempunyai peranan sangat besar, Partai Politik juga adalah faktor yang sangat menentukan, yang turut menyandera arah dari kebijakan sang Presiden.

Karena itu, untuk memperkuat kekuasaannya, maka Presiden terpilih menjalankan strategi dengan mendukung orang-orang yang bermasalah untuk menempati posisi strategis di dalam struktur negara maupun Parpol, agar pejabat yang bersangkutan dapat disandera balik melalui kasus-kasus hukumnya. Kenyataan tersebut yang makin memperparah keadaan negara reformasi menuju keruntuhannya.

Situasi era reformasi tersebut membawa kita pada kesimpulan, “jika krisis yang menimpa sebuah negara masih menyentuh aspek politik, ekonomi dan infrastruktur, maka krisis tersebut masih dapat dengan mudah diatasi.

Ada banyak pengalaman negara di dunia yang sering mengalami krisis ekonomi dan krisis politik yang ditandai oleh jatuh bangunnya pemerintahan. Namun, nasib negara tersebut masih tetap kokoh berdiri sebagai sebuah negara. Jepang misalnya sering mengalami gonta ganti Kepala Pemerintahan, namun karena kuatnya nilai – nilai menyebabkan bangsa tersebut tetap kokoh.

Namun, jika sebuah bangsa dan negara telah mengalami krisis yang menyentuh jantung kehidupannya, yaitu krisis moralitas dan nilai-nilai yang menjadi landasan dan panduannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kita tak akan mampu mencegah jalannya bangsa dan negara tersebut menuju keruntuhannya.

Perlu menjadi catatan kita, selain invasi bangsa asing, wabah penyakit dan bencana alam, yang menjadi penyebab musnahnya sebuah bangsa. Sejarah juga mencatat, tenggelamnya sebuah bangsa ke dalam perut bumi juga disebabkan oleh runtuhnya moralitas dan nilai – nilai yang menjadi landasan dan pedoman di dalam bangsa tersebut.

Runtuhnya moralitas dan nilai-nilai tersebut yang mengubah kebersamaan menjadi mementingkan kepentingan individu dan kelompok (agama, suku dan parpol), mengubah rasa saling percaya menjadi saling curiga, mengubah persatuan jadi perpecahan.

Pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perang saudara Baratayudha, Pandawa vs Kurawa, dalam episode Mahabarata adalah tentang hukum sebab dan akibat. Perang saudara hanyalah akibat dari sebab-sebab yang ditimbun dan mengkristal dari sebuah proses panjang sebelumnya.

Ditimbunnya ketamakan, korupsi memperkaya diri dan keluarga, ketidakjujuran, ketidakadilan dan ilegalitas dalam mengelola kerajaan atau negara berakibat pada tumbuh suburnya permusuhan dan perpecahan, yang berujung pada perang saudara.

Dalam proses politik bernegara saat ini, kita secara sengaja dan sadar telah menimbun sebab-sebab perpecahan dan kehancuran yang pernah dilakukan pada tahap – tahap sebelumnya.

Ketamakan, ingkar janji, korupsi memperkaya diri dan keluarga, ketidakadilan, kecurangan, kemunafikan dan ilegalitas dalam bernegara adalah sebab-sebab yang yang telah kita ciptakan.

Hukum karma atau hukum sebab akibat sedang berlangsung pada bangsa dan negara kita. Seperti kata kalimat bijak, “Siapa menabur angin dia akan menuai badai, apa yang ditabur itulah yang dituai.” Kita akan menuai akibat berupa perang saudara yang akan meruntuhkan bangsa dan negara kita.

Kini, yang tersaji di depan mata kita adalah adu kekuatan, adu kecurangan, adu fitnah, rekayasa isu, manipulasi informasi, adu kehebatan memanipulasi dan menipu, serta adu kekayaan dan kekuatan uang sebagai senjata dalam memenangkan perebutan jabatan negara, Parpol dan Ormas.

Ketika tak ada lagi norma dan nilai yang menjadi panduan dalam berbangsa dan bernegara, ketika kaum intelektual, ulama dan rohaniawan telah berdiri di atas kaki kepentingan sempit, tak lagi berdiri di atas kebenaran dan nilai-nilai, maka terompet sangkakala perang saudara itu telah ditiup.

Dan, kenyataannya kini tak ada lagi norma dan nilai – nilai yang menjadi pegangan, landasan, juga panduan dalam mengatasi konflik sosial politik. Krisis moralitas dan nilai – nilai yang melahirkan keretakan dan perpecahan yang terjadi di level elite hingga level terbawah dari masyarakat.

Salah satu contoh krisis moralita dan nilai – nilai tersebut ditandai oleh maraknya gerakan yang katanya membela dan memperjuangkan Pancasila, “mendadak Pancasilais,” tapi di saat yang sama para pembela Pancasila tersebut menginjak-injak nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila yang diteriakannya dengan berbusa busa.

Mereka yang katanya membela Pancasila, tapi sambil menginjak-injak nilai – nilai Ketuhanan, kemanusian, persatuan, musyawarah dan keadilan, tentu tak jauh berbeda dengan seorang muslim yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi di saat yang sama masih menyembah berhala.

Pancasila yang mana yang sedang dibela..? Pancasila sebagai nilai-nilai, pedoman dan pandangan hidup atau Pancasila sebagai alat kepentingan..? Pancasila sebagai topeng dan tameng..?

Ternyata Pancasila yang mereka bela adalah Pancasila yang semata dijadikan tameng kepentingan ketika kelompoknya diserang. Ternyata Pancasila yang diperjuangkan adalah “Pancasila sebagai kepentingan” untuk membenarkan perampokan dan pemerasan.

Ternyata Pancasila yang mereka bela adalah “Pancasila sebagai topeng” untuk menutupi agenda menjual negara kepada korporasi asing dan kepada para taipan. Mereka yang katanya membela Pancasila tapi di saat yang sama bertindak menjadi marsose kepentingan asing dan kacungnya para taipan.

Mereka yang katanya membela Pancasila tapi di saat yang sama memperjuangkan dijalankannya sistem pasar bebas ekonomi dan demokrasi liberal yang mengoperasikan kebijakannya melalui “management konflik.”

Mereka yang katanya membela dan memperjuangkan Pancasila tapi tidak setuju kembali kepada UUD Proklamasi yang disepakati oleh pejuang dan pendiri bangsa pada 18 Agustus 1945.

Lalu, bagaimana mengoperasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam sistem dan kebijakan negara..? Bukankah UUD 1945 adalah operasional sistem dari nilai nilai Pancasila yang abstrak itu? Bagaimana mungkin mengoperasikan nilai nilai Pancasila tapi dengan sistem ekonomi neoliberal dan demokrasi liberal?

Bagaimana mungkin negara Pancasila yang menganut “peacefully management” (management kebersamaan), tapi dikelola dengan menggunakan “managemt by conflict” model kapitalisme” dari barat yang juga sedang sekarat..?

Demikian juga, bagaimana mungkin memperjuangkan tegaknya kebhinekaan, keragaman yang telah menjadi takdir Tuhan itu, tapi tidak disertai dengan memperjuangkan nilai-nilai dasar Pancasila sebagai tunggal ika yang menjadi landasan dan haluan bersama..? “Bhineka tanpa tunggal ika” yang berlangsung sepanjang reformasi itu persis seperti sapu lidi yang berserakan tanpa ikatan.

Tampaknya sebab-sebab yang kita tabur sepanjang era reformasi akan segera kita tuai “akibat” nya pada waktu dekat ini. Sekali lagi, bangunan sistem negara reformasi akan sedang runtuh runtuh secara bertahap dan pasti, tak akan ada yang mampu mencegahnya.

Karena itu, kita hanya bisa mempercepat dan mengarahkan keruntuhan sistem negara era reformasi yang pasti berdampak pada baratayudha, untuk tujuan meminimalisasi ekses negatif terhadap keutuhan dan kelangsungan masa depan bangsa dan negara.

Apapun obat mujarabnya, rasanya saat ini sangat sulit untuk menyembuhkan penyakit bangsa yang telah kronis. Kini, wabah keruntuhan moral dan nilai-nilai telah menjangkit mereka yang berkuasa di eksekutif, yudikatif dan legislatif, juga di gerakan masyarakat sipil (LSM, gerakan mahasiswa dan intelektual).

Bahkan, media massa yang seharusnya menjadi kekuatan kontrol yang independen, tapi sebagian diantaranya justru menjadi alat kepentingan gerombolan maling dan penjual negara.

Persis seperti wabah krisis moralitas dan pengingkaran terhadap nilai-nilai Illahiah yang terjadi di era Nabi Nuh dan Nabi Luth, tak bisa lagi dicegah penyebaran wabahnya. Sehingga jalan keluar untuk menghentikan penyebaran wabah kepada generasi di masa depan hanya dengan cara memusnahkan bangsa tersebut dari muka bumi.

Kita doakan semoga segera lahir generasi baru, generasi pemuda, generasi penerus, yang berpegang teguh kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila untuk membangun dan menata ulang bangsa dan negara Indonesia dari keruntuhannya.

SEKALI LAGI, BAGAIMANA MUNGKIN NEGARA PANCASILA YANG MENGANUT “PEACEFULLY MANAGEMENT” (UUD 1945), MANAGEMENT KEBERSAMAAN. TAPI, DIKELOLA DENGAN MENGGUNAKAN “MANAGEMENT BY CONFLICT” MODEL KAPITALISME DARI BARAT (UUD AMANDEMEN)..? (IWO Rabu 21/03/2018)

By: Haris Rusly (Petisi 28)

Check Also

INI LANGKAH BILA DITEMUKAN KASUS GGAPA

WAGATABERITA.COM – JAKARTA. Kasus Gangguan Ginjal Akut Pada Anak (GG APA)